2/8/2017 0 Comments Jakarta Contemporary Ceramics Biennale: lihat-lihat pameran keramik biar jadi anak artsyBerkunjung ke galeri seni memang selalu menarik. Tidak hanya bagi yang orang-orang yang mengerti tentang seni, namun juga untuk kaum-kaum kepo yang menyukai hal unik. Memang terkesan norak, tapi pameran seperti ini seringkali menyuguhkan tampilan yang bikin kita suka banyak nanya. Nah saya salah satu kaum itu. Tapi yang pasti, saya bisa jadi anak artsy nih dengan sering-sering nongkrongin pameran seni.
Akhir tahun lalu, di Galeri Nasional Indonesia menggelar Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. Konsep dari pameran ini menampilkan karya-karya dari 41 seniman yang berasal dari 20 negara dalam bentuk seni keramik kontemporer. Mengusung tema “Ways of Clay: Perspectives Toward the Future”, JCCB ini menjadi perhelatan seni keramik terbesar di Asia Tenggara. Melalui tema tersebut, JCCB dikemas dengan menekankan perspektif dalam memahami praktik seni keramik di masa depan. Tidak hanya dilihat dari sejarah seni keramik itu sendiri, namun juga memahami sejarah penggunaan material berupa lempung (tanah liat) dan media keramik dalam praktik seni rupa. Hingga kini, lempung dan keramik selalu menarik perhatian bagi para perupa dari berbagai latar belakang dan menjadi premis JCCB untuk selalu melibatkan peserta dari latar belakang bukan pekeramik. Penyelenggaraan JCCB kali ini juga berbeda dari sebelumnya karena dalam persiapannya dimulai dengan program residensi. Sebanyak 20 seniman residensi baik internasional maupun dari berbagai negara ditempatkan d desa kerajinan keramik, studio seniman, sekolah keramik, hingga keramik industry, Ada dua alas an mengapa residensi ini penting dan menjadikannya sebagai pola baru untuk penyelenggaran ke depan. Pertama, diharapkan suatu biennial internasional akan menjadi lebih menarik jika ada suatu interaksi antara para seniman dengan komunitas di mana seniman itu berada dalam suatu lokasi. Kedua, residensi menghasilkan kaitan antara seniman dengan residensi dimana mereka ditempatkan. Lalu apa bedanya JCCB dengan pameran keramik internasional lainnya? Tentu berbeda karena JCCB melibatkan peserta non-keramikus. Hampir semua pameran internasional keramik diikuti dan memang diperuntukkan bagi para pekeramik. Para Seniman Residensi : Angie Seah (Singapura) - Arya Pandjalu (Indonesia) - Awangko Hamdan (Malaysia) - Danijela Pivašević-Tenner (Serbia/Jerman) - Eddie Hara (Indonesia/Swiss) - Elodie Alexandre (Perancis/India) - He Wenjue (China) - Joris Link (Belanda) - Jose Luis Singson (Filipina) - Joseph Hopkinson (Wales/United Kingdom) - Kawayan De Guia (Filipina) - Ljubica Jocic Kneževic (Serbia) - Maria Volokhova (Ukraina/Jerman) - Nao Matsunaga (Jepang/united Kingdom) - Pei-Hsuan Wang (Taiwan) - Richard Streitmatter-Tran (Vietnam) - Ryota Shioya (Jepang) - Soe Yu Nwe (Myanmar) - Thomas Quayle (Australia) - Uji ‘Hahan’ Handoko (Indonesia) Seniman (non–Residensi) : Agugn Prabowo (Indonesia) - Alice Couttoupes (Australia) - Ane Fabricus Christiansen (Denmark) - Antonella Cimatti (Italia) - Clare Twomey (United Kingdom) - Diego Akel (Brazil) - Eddie Prabandono (Indonesia) - Eva Larsson (Swedia) - Geng Xue (China) - Gita Winata (Indonesia) - Heri Dono (Indonesia) - Kyoko Uchida (Jepang) - Kyungwon Baek (Korea Selatan) - Masha Ru (Rusia/Belanda) dan Dina Roussou (Yunani/Belanda) - Mohamad Rizal Salleh (Malaysia) - Nadya Savitri (Indonesia) - Panca DZ (Indonesia) - Sarah O’Sullivan (Australia) - Takashi Hinoda (Jepang) - Teri Frame (United States) - Tomoko Sakumoto (Jepang). Saya mungkin hanya penikmat seni, yang melihatnya sebagai sebuah karya yang enak dipandang mata dan menjadi unik karena baru pertama kali melihat. Karena untuk memahami makna dari setiap karya tentunya tergantung perspektif masing-masing. Namun yang jelas, karya-karya indah ini yang membuat hal kecil menjadi sebegitu punya arti, bahkan untuk keramik sekalipun. Salam anak artsy! 1. Biennale: (diucapkan [bi.enˈnaːle]), bahasa Italia untuk "bienial" atau "setiap tahun lainnya", adalah acara apapun yang diadakan setiap dua tahun. Istilah biennale paling sering digunakan dalam dunia seni untuk mendeskripsikan pameran seni kontemporer internasional skala besar. 2. Referensi: Galeri Nasional Indonesia
0 Comments
Tulisan ini saya ketik secepat kilat, berkejaran dengan waktu, sebelum Si 2016 berganti. Tidak ada yang istimewa dalam sebuah ritual menyambut tahun baru kali ini. Hanya secangkir kopi dengan laptop menyala di balkon kosan menemani datangnya tahun. Suara ketik keyboard bersahutan dengan hiruk pikuk kembang api yang tiada henti, dan sesekali menarik hati untuk melihatnya dari sudut pintu. Dan hanya satu yang terpikirkan, Damn! Waktu cepet banget ya berlalu!
Jika boleh bercerita, justru bukan merayakan dengan teman-teman atau pesta kembang api meriah yang saya inginkan dalam malam pergantian tahun baru kali ini. Ingatan saya tertuju kepada Ibu. Saya membayangkan berada di rumah, hanya berdua dengan Ibu di atas meja makan, dengan teh manis hangat buatan Ibu yang enak itu, dan bercerita tentang kehidupan. “Kapan ya tahun baru-an bareng Emak?” Dan bahkan lupa karena nggak pernah. Cerita kehidupan. Pernah nggak sih kepikiran? Kalau semakin tua seseorang, atau katakanlah semakin sukses seseorang, atau semakin tinggi jabatan orang, yang mereka butuhkan tidak melulu soal materi, namun juga teman cerita. Atau lebih tepatnya, seseorang yang mau mendengarkan. Apapun, biasanya mereka akan bercerita tentang kehidupan mereka, bagaimana mereka sukses, pengalaman yang mereka punya, dan bahkan apapun yang kadang too much untuk kita dengarkan. Makanya kalau ketemu orang tua, asal iya-iya-in mereka cerita, cepat kelar urusannya. Nah! Entah perasaan saya doang atau yang lain juga, kebutuhan untuk bercerita dan keluh kesah kehidupan semakin tinggi (mungkin juga karena semakin menua). Tidak melulu tentang percintaan yang menye itu, tapi juga tentang kerjaan, impian, teman, uang, gaji, KPR, nikah, bahkan cicilan juga, apapun yang tuntutannya semakin meninggi seiring bertambahnya usia, peran, dan posisi kita saat ini. Memang tidak semua nyaman untuk diceritakan, bahkan termasuk kepada Ayah Ibu kita. Tapi sepertinya pendapat itu tak terbantahkan. Pertanyaannya, jika kita punya satu kesempatan untuk menceritakan tentang satu hal kepada Ibu kalian, which one do you want to share? Hidup di Ibukota. Kalau saya, tentu akan berkeluh kesah tentang ini. Kisah tentang bertahan hidup di kota paling sibuk di Indonesia. Saya telah membayangkan bisa berkarir di kota ini sejak sekolah, dan kabar baiknya, I am here. Dan kabar buruknya, I love this city so much. Hidup di Jakarta terasa sangat cepat. Bahkan kadang tanpa disadari, waktu telah berlari meninggalkanmu dan memperbudak. Hanya di kota inilah kamu bisa merasakan kehidupan layaknya sebuah robot. Jangan bandingkan dengan Jogja, yang kadang tidur siang saja terasa lama sekali. Tapi bagaimanapun, saya mencintaimu kota ini. Tentu, dalam satu tahun ini, ada banyak kisah yang tak cukup satu waktu untuk diceritakan. Namun yang pasti, berusaha menjadi lebih baik dan berarti adalah sebuah indikator mutlak dalam menjalani tahun demi tahun. Hanya sebagai catatan pribadi, inilah beberapa hal yang saya sangat syukuri dalam hidup, setahun ini : 1. Di tahun ini, bisa menjadi PNS. 2. Di tahun ini, bisa keliling Indonesia. 3.. Di tahun ini, bisa menabung walaupun masih sedikit. 4. Di tahun ini, bisa ikut Kelas Inspirasi di Banggai. 5. Di tahun ini, bisa les Bahasa Inggris gratis di EF. 6. Di tahun ini, bisa buat toko online sendiri walaupun belum jalan (susah ternyata). 7. Di tahun ini, punya GFF Miles Gold (bukan pamer). 8. Di tahun ini, bisa kasih kado ke Bapak, Ibu, dan Mama. 9. Di tahun ini, rumah tambah rame karena ada tiga ponakan baru. 10. Di tahun ini, Tukin-nya nambah jadi 70% (makasi Pak Jokowi dan Pak Menteri). 11. Di tahun ini, bisa beli tiket liburan ke Thailand dan Korea buat tahun depan. 12. Di tahun ini, punya blog dan ada tulisannya. 13. Di tahun ini, masih bisa belanja sepatu, jam, baju, dan barang lainnya. 14. Di tahun ini, bisa melihat langsung Pak Jokowi, Pak Jusuf Kalla, Pak Luhut, Pak Menteri, Bu Menteri (agak norak sih ini). 15. Di tahun ini, diberi kesehatan, rejeki, perlindungan, keluarga, teman, cemewew, dan sahabat yang baik hatinya (alhamdulillah). Harapan ke depan, bisa lebih bersyukur. Now, it’s your turn! # 15 Things To Be Thankful In 2016! Perjalanan ini menjadi kali kedua mengunjungi Danau Toba. Siapa sangka ternyata Toba begitu luasnya lebih mirip lautan dibanding danau atau waduk sekalipun. Masih teringat, Ibu Guru SD pernah mengenalkan Danau Toba dalam sebuah peta Atlas dengan hanya menunjukkan letaknya yang berada di Sumatera Utara. Sebuah bulatan berwarna biru dengan daratan kecil di tengahnya yang terlihat tidak tersambung. But viewing the real of that destination was so amazing.
# Kali Pertama Kunjungan pertama ke Danau Toba tahun lalu melintasi jalan darat dari Medan menuju Karo, ujung utara Danau Toba, tepatnya di Taman Simalem Resort. Perjalanan ditempuh dalam kurang lebih 8 jam dengan hanya mampir sekali untuk makan siang. Sejujurnya ini lama banget sih secara jalannya naik turun mengitari lembah dan pemandangan hijaunya bikin tidur sepanjang jalan. Saking gedenya ini danau, penampakannya sebenarnya sudah bisa terlihat dari jauh. Nah mendekati Taman Simalem makin jelas danaunya dengan suasana sejuk-sejuk-adem khas dataran tinggi seperti Lembang. Jika belum pernah dengar, Taman Simalem adalah resort yang sudah cukup memadai bagi wisatawan yang ingin melihat Danau Toba dari view yang tepat. Pengunjung bisa melihat pemandangan Danau Toba di bukit yang sudah dipersiapkan tempat untuk melihat luasnya danau ini. Sayangnya, kondisi cuaca di Danau Toba terbilang cukup labil sehingga kemampuan pandang sering terganggu karena kabut dan hujan. Mengutip dari website resminya, Taman Simalem is situated in the clouds on a sprawling 206-hectare estate, Taman Simalem is a retreat for the senses. At 1,200 metres above sea level, the cool, crisp air immediately sets you at ease and the stunning view of Lake Toba will take your breath away. This mountain resort was built to create a new and unique way to live holistically, with its organic farms and fruit orchards, tea and coffee plantations, and various accommodations that allow a commune with nature. Specially for families, school groups, friends and couples, the resort provides programmes and activities that allows you to get close to nature without feeling the pressures of everyday life. Feel recharged, revitalised and renewed. In 2001, PT Merek Indah Lestari, together with a Singapore investment company discovered a plot of unutilised grassland and embarked on a journey to create Taman Simalem Resort, and put Lake Toba back on the tourism map of the world. The main idea behind the resort is to provide nature-based attractions that offer visitors the chance to experience first-hand agricultural and horticultural activities that have traditionally been the backbone of Indonesia’s economy. Nah, sudah jelas kan siapa yang punya Taman Simalem? Nggak heran juga jika resort ini tampak begitu terawat dan menjadi pilihan yang tepat jika ingin menikmati Danau Toba dengan fasilitas all-in. Terakhir saya berkunjung ke sana, di resort ini selain tersedia penginapan, juga menyediakan fasilitas hiburan seperti karaoke room, restoran, tempat ngopi, dan juga tracking ke sumber air yang di sana terdapat pohon dengan kadar oksigen tinggi. Untuk rate kamar, kayaknya saya perlu donatur deh buat bayarin nginep di sini karena lumayan tinggai sekitar 1,5 jutaan per malamnya. # Kali Kedua Jika dalam kunjungan pertama agak keliatan norak karena kaget ternyata Danau Toba mirip lautan, nah yang kedua kalinya ini agak lebih kalem. Selain itu lebih sehat dan bugar karena perjalanan menuju Danau Toba melalui flight Jakarta – Silangit yang hanya dua jam saja ditambah naik mobil dari Siborong-borong menuju Parapat sekitar 3 jam. Penerbangan CGK (Jakarta) ke DTB (Silangit) ini memang belum lama ada. Rute baru yang cukup bagus untuk meningkatkan mobilitas orang-orang yang ingin ke Danau Toba dengan lebih cepat melalui penerbangan Garuda Indonesia (direct flight dan connecting flight) dan Sriwijaya Air. Karena termasuk bandara kecil, maka penerbangan menggunakan pesawat model Bombardier. Dan jangan heran jika landing di bandara ini sensasinya bikin inget dosa karena agak menantang, mungkin karena runway masih pendek. Jika dilihat dari peta, letak Bandara Silangit ini berada di selatan Danau Toba. Perjalanan darat ke Parapat sebenarnya hanya menyusuri pinggir Danau Toba yang melintasi Balige, Sitorang, Parapat. Salah satu yang membuat penasaran yaitu tentang Balige, tempat asal partner kerja di Kemenpar yang saya pikir masih kampung tapi ternyata sudah cukup maju. Hanya perlu 30 menitan untuk mencapai Balige dan mampir di sebuah rumah makan padang halal. Yang menarik, di sana banyak dibangun semacam tugu atau monumen yang ternyata penanda makam. Kata Pak Driver, semakin megah tugu atau monumennya maka menunjukkan semakin terpandang dan berada si keluarga. Saya sempat bertanya “Apa nggak serem Pak dimana-mana ada kuburan?”. Dan katanya sudah biasa, ya sudah lah ya. Bagi penyuka hijau-hijauan (bukan uang), pemandangan menyusuri danau adalah surga bagi mata yang bosan dengan penatnya ibu kota dengan gedung-gedungnya yang makin tinggi itu. The landsacape is perfect creature. Dan sesekali tampak Toba, danau vulkanik terbesar yang melihat ujung danaunya saja susah karena begitu luasnya. Dan tibalah di Parapat. Bagi saya, ini adalah spot dimana pengunjung dapat melihat Danau Toba lebih dekat. Jika di Simalem kita hanya bisa melihat Danau Toba dari atas bukit, maka di Parapat, Danau Toba tampak begitu dekat, bahkan bisa melihat hijaunya air. Dan di sini, kita bisa melihat Samosir, pulau di tengah Danau Toba yang ternyata ada jalur darat menuju ke sana dari sisi barat Toba. # Must to Do 1. Karena bakal jarang ke Silangit, jadi boleh lah foto di bandaranya Bagi yang kayaknya jarang ke Toba via Silangit, ada baiknya foto di bandaranya. Bukan karena masih mini, tapi setidaknya bisa cerita tentang bandara ini sebelum dikembangkan lebih luas lagi oleh PT Angkasa Pura II. Sebagai bandara kecil, keberadaanya sangat penting mengingat rute ke Silangit diperlukan untuk menunjang mobilitas ke Balige dan Paparat dengan waktu yang lebih singkat. Berita baiknya bandara Silangit ini sedang dalam groundbreaking airport (pengembangan) oleh AP II sehingga diperkirakan bentuknya akan semakin luas dan memadai. 2. Mampir Balige, ada bangunan pasar yang mirip rumah adat Perasaan saya doang atau emang bangunan pasar rumah adat di Balige ini mirip dengan rumah adat Padang dan Toraja ya. Tapi yang jelas mengabadikan bangunan ini tidak ada salahnya. Letaknya ada di pinggir jalan persis dan cukup berderet sehingga tampak jelas saat melintasinya. 3. Jika menginap di Patra Jasa Lake Resort, mampir ke taman belakang Saya termasuk yang beruntung masih bisa foto-foto di taman belakang hotel meski sudah sore. Selain terdapat bangunan panggung yang menghadap langsung ke danau, di bagian samping juga ada taman dengan pohon, ayunan, dan tempat duduk yang instgramable. 4. Foto di signage Danau Toba – Simalungun Nah ini yang nggak sempat, foto di icon mark of Danau Toba – Simalungun. Nggak bisa cerita karena nggak foto di sini. Tapi fotonya ada ambil dari punya Arum. 5. Suka nggak suka, kudu cobain ngopi di tepi Danau Toba #agakmaksa Sebenarnya menu kopi-nya juga standar, kopi susu atau kopi hitam. Namun yang bikin istimewa karena ngopi-nya sembari menikmati pemandangan Danau Toba. Resto yang menyediakan kopi di tepi danau ini banyak berjajar di sepanjang jalan di Parapat – Simalungun. Sejak sekolah, novel menjadi bacaan yang paling dihindari. Simple sih, novel terlalu panjang untuk dibaca dan kadang membosankan. Padahal bagi penikmat bacaan, novel adalah favorit. Pilihan alternatif pasti tertuju ke cerpen yang relatif pendek atau semacam Chicken Soup yang isinya kisah per kisah dari surat-surat pembaca. Namun kian berumur kian menyesali mengapa tidak membiasakan baca buku panjang-panjang. Jadi ketika teman-teman sibuk membahas buku semacam Harry Potter dan Sherlock Holmes, saya cuma bisa “Hah? Apasih itu? Apasih?” - nggak jelas.
Dan kebiasaan itu pun berimbas ke tulisan. Anaknya cenderung cepat bosan, mau cepat kelar, dan suka salah fokus. Termasuk untuk setiap post di blog yang maunya pendek-pendek saja dan jika terpaksa harus panjang, ya tinggal potong-potong saja ceritanya, gitu aja kok repot. Masih teringat minggu lalu, ulasan tentang highlight 10 momen terbaik perjalanan dengan penilaian saya pribadi dari destinasi-destinasi yang pernah saya kunjungi From Sabang To Morotai (Part 1). Sebelumnya, saya bercerita tentang kegiatan wisata yang bisa ditemui mulai dari mengenang tsunami di Aceh, menyeduh kopi di Belitung, menikmati pesona bawah laut di Karimunjawa, belajar budaya Jawa di Jogja, hingga melawan dinginnya udara pagi di Puncak Bromo. Melanjutkan hal yang tertunda, berikut ulasan pelengkap momen terbaiknya: 6. Mengenal Desa Tradisional Sade di Lombok Awalnya saya tidak memahami betul apa itu istilah desa wisata. Namun pimpinan di kantor menjelaskan tentang village tourism dalam telepon pagi-paginya yang selalu mengagetkan itu. Menurutnya, desa wisata menjadi salah satu hal yang dapat dikembangkan oleh suatu daerah dalam rangka mengangkat kearifan lokal. Sebuah desa dapat dikatakan desa wisata jika memiliki adat istiadat, tradisi, dan identitas lokal yang masih terjaga hingga sekarang, sebut saja Desa Wisata Tengger, Desa Wisata Halimun, dan Desa Wisata Sade di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Nah khusus untuk Sade Village relatif mudah dijangkau dari Kota Lombok. Kedatangan Anda ke desa tersebut akan disambut dengan plang nama 'Welcome to Sasak Village, Sade, Rembitan, Lombok' di bangunan berbentuk rumah ada Sasak di tepian jalan di Lombok. Bagi saya, ini desa yang unik sekali. Perkampungan Sade tampak dari bentuk rumah adat dan bahan pembuatan rumah yang beratap ilalang. Pengunjung dipersilakan mengisi buku tamu dan memberikan donasi sukarela untuk warga. Oleh pemandu lokal di Desa Sade, pengunjung akan diajak berkeliling desa untuk melihat keaslian desa sesuai adat Sasak ini. Hampir setiap rumah menjual kerajinan dari kain tenun, sampai pernak-pernik seperti gelang, gantungan kunci sampai hiasan kecil di rumah. Uniknya, bahan pembuatan rumah ini masih alami, dari tanah liat, sekam padi, dan beratap alang-alang. Warga di sana mengepel lantai rumah dengan kotoran kerbau untuk mengendapkan debu dan menghindari binatang seperti nyamuk. Memang tidak besar luasnya, mungkin penduduknya hanya 700-an jiwa yang merupakan satu rumpun keluarga. Pekerjaan masyarakat Sade mayoritas bercocok tanam seperti bertani padi dan sayur mayur. Untuk menambah pencaharian, warga Sade juga memproduksi tenun tradisional dari memintal kapas dan memanfaatkan tumbuhan untuk pewarnaan alami. Yang unik lagi adalah sistem perkawinan Suku Sasak yang dikenal dengan kawin lari atau kawin culik. Saya kurang begitu paham maksudnya gimana, tapi sederhananya jika seorang pria Sade menyukai gadis, maka tinggal bawa lari diam-diam hingga jangan sampai ketahuan. Mungkin maksudnya tidak perlu ada acara lamaran, asal saling suka, capcus lah. Iya nggak sih? Ada yang tahu lebih tentang ini? Namun yang jelas mengunjungi Desa Wisata Sade di Lombok menjadi kegiatan wisata yang tidak boleh dilewatkan. Dan jika berlebih, ada baiknya membeli pernak-pernak atau kain tenun hasil kreasi warga sebagai dukungan untuk wisata lokal yang sesungguhnya. Meskipun temanya mengangkat kearifan lokal, ada baiknya juga disediakan sarana seperti toilet yang didesain khas bangunan Sasak namun tetap memperhatikan kebersihan. Intinya sih semakin bersih semakin membuat pengunjung nyaman dan betah di Desa Sade. Oh iya, bagus juga tuh kalau ada pertunjukkan tarian atau musik khas Sasak yang ditampilkan di halaman depan desa sebagai atraksi budaya. 7. Mengitari Pulau Wangi-wangi Wakatobi dan temukan spot snorkeling terbaik Tahun 2015 menjadi momen booming Wakatobi sebagai most wanted destination to visit. Saya tidak ingat betul mengapa Wakatobi menjadi sangat populer saat itu. Namun yang pasti, kesempatan mengunjungi salah satu surga bahari di Indonesia menjadi pengalaman yang lumayan langka. Secara budget, Wakatobi memang tergolong wisata yang un-reachable. Bagi wisatawan Jakarta contohnya, mereka harus mengambil penerbangan dari Jakarta, transit Makassar, tiba di Kendari, penerbangan dilanjut dengan pesawat model ATR ke Bandara Matahora, Wakatobi. Setibanya di Pulau Wang-wangi dimana bandara berada, perjalanan dapat dilanjutkan via darat ke hotel tujuan (sebelumnya di Patuno Resort Wakatobi). Bagi yang belum ngeh, Wakatobi itu singkatan dari Wangi-wango, Kaledupa, Tomia, dan Binongko). Nah sayangnya, kunjungan saya lumayan singkat jadi hanya puas di Wangi-wangi. Namun terbantu dengan adanya driver handal yang kayaknya merangkap tour guide di Wakatobi, sebut saja Mas Macan (ada tattoo macan di tangan). Mas Macan ini lumayan inisiatif orangnya karena menunjukkan tempat-tempat wisata yang di luar dugaan. Awalnya saya diajak berkeliling pulau melihat indanhnya pantai yang biru memanjang tiada habisnya itu. Siangnya Si Mas Macan ngajakin makan dengan menu andalan Ikan Parende. Lalu berlanjut ke pemandian atau semacam mata air yang bening banget namanya Mata Air Moli Sahatu yang terletak di Desa Patuno, Wangi-wangi. Masyarakat sekitar meyakini bahwa air yang mengalir dari sela-sela batu serta pasir tersebut bila diminum atau dibasuhkan ke wajah memiliki khasiat membuat awet muda dan enteng jodoh. Dan sialnya saya baru tahu akhir-akhir ini tentang enteng jodohnya, kan lupa basuh waktu itu. Yaudah, kan udah ada juga pacar, case closed! Trip lanjut ke wisata utama yaitu bahari dengan aktivitas snorkeling di Sombu. Sebenarnya, pengunjung yang menginap di Patuno Resort juga tersedia paket snorkeling yang bisa diambil dan lokasinya dekat hotel. Namun jika ingin lebih ekonomis, bisa juga ambil paket di Sombu untuk snorkeling dan diving dengan penyewaan sekitar seratus ribuan per alat. Dan jangan tanya keindahan lautnya, luar biasa. Jadi sebenarnya rugi ke Wakatobi tapi belum punya diving licence. Bisa sih, ikut scuba diving dengan harga sekitar 500-700 ribuan. 8. Meneropong kota Indah Gorontalo dari Benteng Otanaha Mengunjungi suatu daerah untuk pertama kalinya memang selalu menarik. Termasuk kunjungan saya ke Gorontalo ini. Awalnya saya mengira kota ini panas, gersang, dan nggak ada apa-apa. Namun justru pengalaman memberikan pandangan yang sebaliknya. Kota ini kecil namun asri, damai, indah, dan juga aman. Perjalanan dari Bandara Jalaludin ke kota Gorontalo membutuhkan waktu sekitar 1 jam dengan mobil. Jalan-jalan di kota Gorontalo masih kecil dan tidak padat kendaraan. Untuk transportasi umum, Gorontalo mengandalkan Becak Motor atau Bentor yang mudah ditemui di jalanan dengan tarif Rp 2 ribuan. Selain wisata bahari di Olele yang bening banget itu, pengunjung sebaiknya jangan melewatkan pemandangan di Benteng Otanaha. Benteng ini terletak di perbukitan Kelurahan Dembe, Kota Barat, Gorontalo, atau bisa ditempuh dengan Bentor selama 20 menit dari kota. Pengunjung akan menaiki bukit untuk mencapai puncak Benteng Otanaha. Di puncak, pengunjung dapat menikmati keindahan Danau Limboto dan Kota Gorontalo. Menurut sejarahnya, Benteng Otanaha dibangun oleh Raja Ilato atas prakarsa nakhoda kapal Portugis yang berlabuh di Pelabuhan Gorontalo untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negeri dari serangan musuh. Saran terbaik saya, bawalah kamera wide-angle semacam Go-Pro untuk bisa menangkap pemandangan yang luas dalam satu frame. Benteng ini berbentuk melingkar sehingga di frame akan tampak melengkung. Hati-hati jika naik ke tepi benteng karena tidak ada pembatas sehingga rawan terjatuh. Jika ada pasangan yang sedang foto pre-wedding, please jangan ikutan foto. 9. Luwuk, kota kecil bermandikan cahaya di malam hari Ini bandara aneh banget, masa nggak keliatan bandaranya gitu, malah landasannya di atas semacam helipad. Ini kesan norak saat pertama kali menginjakkan kaki di landasan Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk. Tapi memang betul, Anda harus jalan menuruni tangga untuk bisa menuju ke gedung utamanya. Untuk ke Kota Luwuk, wisatawan dapat memanfaatkan taksi umum atau oto dengan membayar 25 ribu rupiah. Oto, atau ojek motor menjadi transportasi andalan di Kota Luwuk yang sangat mudah ditemui di jalanan dan hanya bayar 5 ribu sekali jalan. Jika Anda bingung bedain mana oto dan mana pengendara motor biasa, lihatlah apakah si dia membawa helm dobel atau tidak. Jika si pengendara motor membawa helm cadangan, kemungkinan besar si abang adalah ojek. Nah, dari sekian banyak hal yang bisa dilakukan di Luwuk, salah satu yang terpenting adalah melihat Hongkong-nya Luwuk di malam hari. Pemandangan cahaya-cahaya lampu Kota Luwuk pada malam hari layaknya Kota Hongkong dapat dinikmati secara jelas di Bukit Kilo Satu atau sering disebut Bukit Keles. Banyak café yang menyajikan makanan khas Kota Luwuk yaitu Saraba yaitu minuman seperti susu dengan rasa jahe yang kuat serta Pisang Lowe yang makannya dicocol dengan sambal terasi dari Ikan Roa. Di sini Anda bisa duduk santai, mencicipi jagung bakar dan air kelapa muda, menikmati kerlingan cahaya kota yang berpantul dengan laut. 10. Orang menyebutnya surga, pulau pasir putih di Morotai Saya memprediksi, Morotai bakal menjadi the next most happening destination untuk tahun-tahun mendatang. Hal ini juga diamini oleh sebagian wisatawan campuran domestik-luar negeri yang kebetulan menginap di hotel yang sama. Belakangan saya tahu bahwa mereka merupakan kumpulan investor yang memang sengaja berlibur sembari membidik bisnis travel. Dengan peralatan lengkap, mereka menjelajahi Morotai dari ujung utara hingga ke pulau-pulau kecil di sekitar Morotai, merekamnya lewat drone yang hasilnya, gila! bagus banget! Sejarahnya, Morotai dulu digunakan sebagai basis pertahanan Jepang selama Perang Dunia II dan dalam penguasaan Sekutu, Morotai dimanfaatkan sebagai landasan pesawat untuk menyerang wilayah Filipina dan Borneo Timur. Penduduk lokal di Pulau Morotai yang masih mengingat Perang Dunai II akan bercerita kepada pengunjung tentang pertempuran sengit dari puluhan pesawat tempur yang menderu ketika lepas landas dan mendarat di sepanjang Teluk Daruba. Selama Perang Dunia II berlangsung, pasukan Sekutu terus menempati Morotai hingga akhirnya Jepang menyerah tahun 1945 dan Pasukan Sekutu meninggalkan pulau tersebut. Sebelum meninggalkan pulau tersebut, pasukan Sekutu membakar semua bangunan yang mereka dirikan di Morotai. Kini, Morotai menjadi saksi sejarah Perang Dunia II dimana menyimpan peninggalan perang seperti gua persembunyian, landasan pesawat, juga kendaraan lapis baja yang masih utuh walaupun berkarat. Salah satu gua yang terkenal bernama Nakamura, yang jadi tempat persembunyian para tentara Jepang setelah Pulau Morotai diambil alih oleh Sekutu. 'Nakamura' berasal dari nama tentara Jepang itu sendiri, yang konon bersembunyi di sana selama 30 tahun lamanya. Morotai sangat disukai para pecinta diving karena menyimpan keindahan bawah laut berhiaskan bangkai-bangkai kapal peninggalan perang dunia yang menjadi biota alami bagi terumbu karang. Dengan lebih dari 25 titik penyelaman yang menyuguhkan keindahan seperti Tanjung Wayabula, Dodola Point, Batu Layar Point, Tanjung Sabatai Point, hingga Saminyamau. Semuanya luar biasa indah, dengan perairan jernih berwarna biru tua. Biota lautnya tak terhingga, hidup di antara terumbu karang yang terawat dan bekas-bekas reruntuhan kapal. Keindahan alam Pulau Morotai tak hanya tercermin lewat bawah lautnya saja, tapi juga di daratannya dengan hamparan pasir putih. Pulau dengan pasir putih dan gradasi air laut yang kece bisa ditemui di Pulau Zum-Zum, Pulau Dodola, dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya seperti Kokoya. Jika wisatawan asing saja terpukau dengan indahnya Morotai, sudah selayaknya bangsa ini merawatnya dengan lebih baik. Berita baiknya, Morotai menjadi salah satu destinasi yang akan dijadikan sebagai New Bali, salah satu dari 10 Destinasi Prioritas Pariwisata Indonesia kelak. 11/19/2016 0 Comments Merangkum 1 Tahun Perjalanan : The 10 Most Memorable Trips from Sabang to Morotai (Part 1)On a peaceful sunday morning with a 330 ml of Nu Milk Tea. Melanjutkan kegiatan (yang dipaksain) supaya rutin setiap akhir pekan untuk menulis. Paling tidak, dalam lima hari produktif dan dua hari libur bisa menghasilkan minimal empat artikel. Agak ngoyo sih, tapi ini tuntutan yang relatif efektif untuk membuat otak terus hidup dan menggelorakan jiwa dan raga.
Seperti sebelumnya, kegiatan akhir tahun dihabiskan untuk menyusun laporan kegiatan. Beberapa perjalanan ke kota-kota di Indonesia hanya terekam melalui foto. Kini saya merekamnya kembali untuk dapat dibaca lebih banyak orang dan menginspirasi mereka untuk berkeliling nusantara yang begitu indah ini. Sejauh ingatan saya, sisi paling barat yang pernah saya kunjungi adalah Sabang di Aceh. Sementara sisi paling timur Indonesia adalah Motorai di Maluku Utara. Keinginan untuk bisa berkunjung ke Raja Ampat di Papua Barat sirna sudah seiring dengan pemangkasan kegiatan monev. Poin utamanya tetap sama, saya berkunjung untuk bekerja. Namun demikian, menceritakan pekerjaan yang sesungguhnya tentu akan membosankan. Jadi, ada baiknya kita ambil sisi lain dari perjalanan tersebut dengan menghadirkan cerita-cerita berkesan untuk setiap destinasi. Dalam sebuah trip, tentu saya tidak mengunjungi semua destinasi unggulan yang ada karena keterbatasan waktu. Namun hal ini cukup untuk menghadirkan sisi-sisi terbaik dari setiap sisi Indonesia agar tidak terlewatkan. Cerita lengkap akan diulas dalam artikel yang (baru) akan disusun, namun berikut saya highlight 10 momen terbaik perjalanan dengan penilaian saya pribadi dari destinasi-destinasi yang pernah saya kunjungi, from Sabang to Morotai : 1. Sebuah potret kota syariah di Aceh dan the most heart-breaking of tsunami stories Bagi saya, Aceh merupakan wisata spiritual yang sempurna. Dengan sebutan Bumi Serambi Mekah, Aceh menerapkan syariat Islam dengan ikon Masjid Baiturahman yang megah. Bukti-bukti kekuasaan Tuhan terlihat nyata dan dapat ditemukan rekamnya di Museum Tsunami. Di sana diceritakan tentang bagaimana gempa 9,3 menurut skala Richter dan tsunami setinggi pohon kelapa meluluhlantakkan Aceh. Pemandangan menakjubkan bisa ditemui di Monumen PLTD Apung dimana kapal dengan berat 2.600 ton terseret gelombang tsunami hingga sejauh 4-5 kilometer dari letak awalnya di Pelabuhan Ulee Lheue ke Punge Blang Cut, Banda Aceh. Tanda kekuasan-Nya juga ditunjukkan ketika berkunjung ke dua masjid kecil di pesisir, Baitturahim dan Rahmatullah. Tampak dari foto, masjid tersebut merupakan satu-satunya bangunan yang masih berdiri meski diterjang tsunami. Sempatkanlah ibadah di sana dan selepas sholat biasanya ada 3-4 ‘Nenek Tsunami’ mereka biasa disebut yang menjadi saksi hidup tentang ganasnya tsunami. Mereka akan menceritakan kisahnya mampu selamat dari gulungan ombak meski hanya dengan sebongkah kayu yang terapung. Manusia hanya butiran debu, bahkan lebih kecil. Biasanya itulah hasil dari renungan selepas berwisata kalbu di Aceh. Agar seimbang, ada baiknya juga mencicipi kuliner khas Aceh yang menjadi surga bagi pecinta masakan dengan bumbu yang berani. Jangan pernah melewatkan Mie Aceh dan Sate Matang khas Aceh yang kaya rasa itu. 2. Menginjakkan kaki di bumi Laskar Pelangi sembari menyeduh Kopi Kong Djie Belitung mendadak populer saat buku karya Andre Hirata yang berkisah tentang cerita anak bangsa melewatkan hari-hari jenakanya untuk bersekolah di pelosok diangkat menjadi sebuah film. Laskar Pelangi mengenalkan Belitung dengan fenomenal dengan tak hanya mengambil sisi edukasi, namun juga mengangkat wisata pantai-pantai indah berhiaskan batu-batu granit besar menjadi ikon khas. Jangan sedih, dalam paket trip ke Belitung, kunjungan wisata ke replika sekolah Laskar Pelangi biasanya sudah ada dalam list. Jika malam tiba, sempatkanlah menyeduh kopi panas seduh Kong Djie. Jenis kopi yang ditawarkan tersebut adalah jenis robusta dan arabika dengan penyeduhan menggunakan arang. Belitung sendiri tidak menghasilkan kopi, biji-biji kopi tersebut didatangkan dari Pulau Jawa dan Lampung kemudian diolah di Belitung. Selain greget diminum karena disajikan panas, kopinya ada pahit-manis-gurih-nya gitu. Kopi khas tersebut juga bisa dibeli sebagai oleh-oleh dengan harga 35 ribu rupiah per bungkus. Jika Anda penyuka makanan, mie Belitung dan kepiting isi adalah dua menu yang tidak boleh disia-siakan. 3. Menyeberang ke Pulau Karimunjawa via Kota Jepara Perjalanan ke Pulau Karimunjawa bisa ditempuh melalui penerbangan langsung dari Semarang atau Surabaya menuju Dewadaru Airport dengan pesawat baling-baling. Namun karena keterbatasan jadwal, cuaca, dan seat capacity, ada baiknya Anda mencoba melalui jalur darat ke Jepara dan dilanjutkan dengan kapal cepat Express Bahari. Perjalanan dari Semarang menuju Jepara bisa ditempuh dalam waktu 3 jam. Setibanya di pelabuhan Kartini Jepara, penumpang bisa membeli tiket untuk kapal penyeberangan yang nyaman dan full AC. Tidak hanya itu, di kapal juga disediakan hiburan musik dan karaoke-an. Setibanya di Karimunjawa, biasanya pengunjung akan kebingungan untuk menuju ke penginapan karena tidak ada angkutan umum seperti angkot atau bus. Yang perlu diperhatikan adalah sistem transportasi di Pulau Karimunjawa berbeda dari destinasi wisata lain. Di sana pengunjung dapat menyewa rental mobil yang dihitung per tujuan dengan biaya 50 ribu rupiah (sistem rit). Tidak peduli mau jauh atau dekat yang penting satu tujuan satu kali bayar. Untuk wisata bahari, Pulau Karimunjawa menawarkan keindahan bawah laut yang indah dengan terumbu karang yang masih terjaga. Masyarakatnya sudah sadar wisata dimana terlalu banyak membawa wisatawan meng-eksplore spot bawah laut juga berpotensi merusak karang. Kelebihan Karimunjawa selain dari sisi alam, juga ada di pemandu snorkeling dimana di pulau ini lah saya baru menemukan peserta snorkeling diberikan briefing dan latihan secara lebih manusiawi. Dimulai dari latihan di air dangkal hingga ke spot snorkeling populer di Menjangan Kecil dan Besar. Sehingga peserta pemula yang belum pernah snorkeling pun akan benar-benar bisa dan berani untuk turun ke air karena tidak langsung diterjunkan ke air dalam. Secara keseluruhan, Karimunjawa menawarkan fasilitas yang cukup memadai mulai dari penginapan, fasilias snorkeling, dan spot bawah laut. Bagi pecinta momen syahdu terbenamnya matahari, spot terbaik ada di Pantai Tanjung Gelam. 4. Mengenal budaya Jawa dengan melihat koleksi lengkapnya di Ullen Sentalu Jogja adalah perpaduan antara keromantisan dan keramah-tamahan Jawa. Warisannya abadi dan menginspirasi banyak orang untuk memahami setiap nilai-nilai luhur budaya Jawa. Semuanya disajikan dengan cantik dalam sebuah museum swasta, Ullen Sentalu. Museum ini bercerita tentang Kasultanan Yogyakarta hingga kisah Dinasti Mataram yang pernah menguasai Yogyakarta. Museum ini dirintis sejak tahun 1994 namun baru diresmikan pada 1 Maret 1997. Pengunjung dapat menemukan koleksi lukisan raja-raja Mataram, pakaian kebangsawanan, senjata para raja, kumpulan syair-syair indah dan surat pertemanan, kain-kain batik, dan benda-benda pusaka. Di museum ini, pengunjung tidak dapat mengambil foto di setiap ruangan. Menurut pemandu, mengambil foto dapat merusak karya seni yang otentik dan menganggu nyawa yang berada di ruangan tersebut. Sebelum mencapai pintu keluar, terdapat areal taman yang sangat indah dengan kolam yang dihiasi oleh bunga teratai. Sebagai orang Jogja, saya selalu merekomendasikan museum ini sebagai hot list destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Tidak hanya well-representative of Java history, museum ini juga asri didukung dengan pemandu museum yang cukup informatif. 5. Meski dingin menusuk tulang, sunrise di Bromo menjadi The Unexpressed Moment Pernahkah menonton film-film luar (contoh: film korea) dimana para aktornya mengeluarkan semacam asap dari mulutnya ketika berbicara pada saat musim dingin? Nah! Momen tersebut bisa direalisasikan ketika pengunjung berada di puncak Bromo khususnya saat subuh menunggu matahari terbit dari ufuk timur. Dingin angin yang berhembus benar-benar menusuk tulang. Namun seiring waktu menjadi hangat ketika matahari mulai muncul dari sela-sela bukit disertai kabut yang memudar. Dalam efek lensflare dan pudarnya kabut-kabut tipis, pengunjung akan terpesona dengan pemandangan hamparan pasir kaldera Bromo. Selepas sunrise, wisatawan biasanya akan diajak berkeliling di kaldera yang berdiameter 8-10 kilometer menggunakan mobil Jeep. Saat berada di padang savana dekat sisi Pos Bantengan, dinding kalderanya mengelilingi dengan sudut sangat terjal dengan kemiringan sekitar 60-80 derajat dengan tinggi berkisar antara 200-600 meter. Waktu yang terbaik mengunjungi kawasan wisata Bromo adalah pada saat musim kemarau antara bulan Mei sampai Oktober karena pengunjung bisa menikmati keindahan panorama gunung bromo dengan sempurna. Bersambung. 6. Mengenal Desa Tradisional Sade di Lombok 7. Mengitari Pulau Wangi-wangi Wakatobi dan temukan spot snorkeling terbaik 8. Meneropong kota Indah Gorontalo dari Benteng Otanaha 9. Luwuk, kota kecil bermandikan cahaya di malam hari 10. Orang menyebutnya surga, pulau pasir putih di Morotai |